Dari DIARYHIJABER |
Padahal kalau kami mau berhasil beneran, kami kudu rada keras dalam mendidik diri kami sendiri untuk lebih berhemat dan nggak maksain diri juga untuk mempunyai sesuatu yang sebetulnya terlalu mustahil buat kami bisa. Dan akhirnya kitapun jatuh pada tagihan-tagihan hutang. Selanjutnya efek kurang baik dari semua itu, tentu diri kami sendirilah yang kena. Selanjutnya, percuma juga kan gaya-gayaan dan alias sok-sok an “wah” tapi nyatanya nasib kami jadi nggak tenang gitu, teman?
Sebab itu, lebih baiknya terbukti kami kudu tak sedikit-tidak sedikit menonton orang yang berada di bawah kita, dan jangan semakin memandang yang di atas yang punya rumah mewah, mobil keren, dan tabungan setumpuk, kegemaran jalan-jalan ke luar negeri dan lain-lain. Kalau kami memandang semakin ke atas, maka kami bakal susah merasa puas, dan cuma merasa ketidak lebihan aja, jadi kami jadi tak lebih bersyukur dan meremehkan nikmat yang udah Allah berbagi terhadap kami selagi ini.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,
Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu. (HR. Muslim).
Teman, kami nasib emang perlu harta, tapi nggak berarti kekayaaan alias harta itu bisa jadi syarat mutlak nasib tersanjung kita. Kekayaan yang hakiki justru merupakan bila kami merasa lumayan dengan nikmat yang Allah berbagi.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kaya bukanlah diukur dengan tak sedikitnya kemewahan dunia. Tetapi kaya (ghina’) merupakan hati yang rutin merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kedamaian dan ketenangan tentu bakal kami bisa apabila kami bisa mengkontrol diri dalam beberapa keinginan kita. Sebaliknya, apabila semua itu rutin tak terbendung, apalagi apabila kami hingga nasib dalam lilitan hutang yang sangat menumpuk. Dan sayangnya faktor itu nggak hanya bakal kejadian di dunia saja, tapi juga di akhirat nanti.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
Barangsiapa yang mati dalam keadaan tetap mempunyai hutang satu dinar alias satu dirham, maka hutang tersebut bakal dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) sebab di sana (di akhirat) tak ada lagi dinar dan dirham. (HR. Ibnu Majah)
“Jiwa seorang mukmin tetap bergantung dengan hutangnya hingga dirinya melunasinya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Teman, hanya rasa takut terhadap Allah, dan rasa lumayan dan sabar dalam diri kami yang bisa membikin kami selamat dari sikap bermewah-mewahan, dan menganut gaya nasib yang boros dengan berhutang demi sesuatu yang nggak penting. Maka, ayo kami sama-sama belajar supaya nasib kami akhirnya bisa lebih tenang dan damai, yaitu dengan menghindari semua sikap negatif tersebut. Semoga Allah menolong kita, dan mempermudah kami untuk meperbuat semua itu. Aamiin.Input text here...
Baca juga:
Advertisement
// kode Iklan yang sudah diparse, letakkan disini
No comments
Note: Only a member of this blog may post a comment.