Sebuah pernikahan tak hanya diidamkan oleh orang-orang yang belum memiliki pasangan saja. Tapi, orangtua juga sangat mengidamkan anaknya yang telah dewasa dan siap untuk menikah segera melangkah ke pelaminan dan hidup berumah tangga.
Oleh karena itu, tak jarang orangtua juga ikut turun tangan dalam mencarikan jodoh untuk anaknya. Hal ini bertujuan agar si anak mendapatkan jodoh terbaik versi orang tuanya. Namun, tak semua anak bisa menerima ide dari orangtuanya tersebut. Tak sedikit pula anak yang akhirnya menentang jodoh yang telah dipilihkan orangtuanya tersebut.
Bagi seorang anak yang berbakti pada orangtua, meski sangat berat di hati, namun mereka akan meng-iyakan permintaan orangtuanya tersebut dengan tujuan untuk membahagiakan hati orangtuanya. Akhirnya si anak menerima jodoh pilihan orangtuanya dan kemudian menikah secara terpaksa. Lalu, bagaimana hukum pernikahan yang dipaksakan tersebut? Sah atau tidak?
Hal ini dialami oleh teman dari seseorang yang mengajukan pertanyaan pada situs Konsultasi Syariah. Berikut pertanyaan beserta jawaban dari Ustadz Ammi Nur Baits :
Ilustrasi wanita yang dinikahkan secara paksa nampak tidak bahagia dengan pernikahannya |
Assalam mu�alaikum ustad
Ustad saya mau tanya, saya punya temen perempuan dia di paksa menikah dia dah bilang gak mau tapi terus disuruh menikah dengan pilihan ibunya terus terpaksa dia menikah. Setelah menikah dia merasa benci sama suaminya dan dia melihat suaminya aja males dan dia tidak mau di sentuh suaminya dan dia ingin cerai tapi dia takut kalau nama keluarganya jelek di mata tetanganya
Pertanyaan saya ustad :
1. apakah pernikahan itu sah apa tidak?
2. apakah temen saya berdosa karena membenci suaminya?
3. apakah yang harus di lakukan temen saya?
4. apakah orang tuanya berdosa karena menjodohkan anaknya?
Jawaban:
Wa �alaikumus salam
Bismillah was shalatu was salamu �ala Rasulillah, wa ba�du,
Alhamdulillah, kasus ini sudah mulai menghilang. Jejak nasib siti nurbaya, ternyata tidak menular. Meskipun masih ada beberapa korban kedzaliman wali orang tua, yang terkadang dilatar belakangi sifat tamak orang tua terhadap harta anaknya.
Kita bisa mencatat beberapa hal mengenai kasus ini,
Pertama, Hukum Pernikahan
Haram bagi wali seorang wanita untuk memaksanya menikah dengan lelaki yang tidak dia cintai. Nabi shallallahu �alaihi wa sallam mengingatkan tentang tugas wali terhadap putrinya sebelum menikah,�Gadis tidak boleh dinikahkan sampai dia dimintai izin.� (HR. Bukhari 6968 & Muslim 1419).
Hadis ini dipahami para ulama berlaku untuk semua gadis dan semua wali. Karena itu, Imam Bukhari memberi judul hadis ini dengan pernyataan,
�Ayah maupun wali lainnya tidak boleh menikahkan seorang gadis maupun janda, kecuali dengan keridhaannya.� (Shahih Bukhari, bab ke-41).
Memaksa anak perempuan untuk menikah dengan lelaki yang tidak dicintai, sejatinya kedzaliman. Dari mana si wanita bisa merasakan kebahagiaan, sementara dia harus bersama orang yang tidak dia cintai. Karena tujuan utama menikah adalah untuk mewujudkan kebahagiaan kedua belah pihak. Kedua pasangan suami istri. Bukan kebahagiaan orang tua.
Karena itu, Syaikhul Islam menganggap sangat aneh adanya kasus pemaksaan dalam pernikahan. Beliau mengatakan,
�Menikahkan anak perempuan padahal dia tidak menyukai pernikahan itu, adalah tindakan yang bertentangan dengan prinsip agama dan logika sehat. Allah tidak pernah mengizinkan wali wanita untuk memaksanya dalam transaksi jual beli, kecuali dengan izinnya. Demikian pula, ortu tidak boleh memaksa anaknya untuk makan atau minum atau memakai baju, yang tidak disukai anaknya. Maka bagaimana mungkin dia tega memaksa anaknya untuk berhubungan dan bergaul dengan lelaki yang tidak dia sukai berhubungan dengannya. Allah menjadikan rasa cinta dan kasih sayang diantara pasangan suami istri. Jika pernikahan ini terjadi dengan diiringi kebencian si wanita kepada suaminya, lalu dimana ada rasa cinta dan kasih sayang??� (Majmu� Fatawa, 32/25).
Kedua, status pernikahan
Ketika orang tua memaksa putrinya untuk menikah, maka status pernikahan tergantung kepada kerelaan pengantin wanita. Jika dia rela dan bersedia dengan pernikahannya maka akadnya sah. Jika tidak rela, akadnya batal.
Buraidah bin Hashib radhiyallahu �anhu menceritakan,
Ada seorang wanita yang mengadukan sikap ayahnya kepada Nabi shallallahu �alaihi wa sallam. Dia mengatakan,
�Ayahku memaksa aku menikah dengan keponakannya. Agar dia terkesan lebih mulia setelah menikah denganku.�
Kata sahabat Buraidah, �Nabi shallallahu �alaihi wa sallam menyerahkan urusan pernikahan itu kepada si wanita.�
Kemudian wanita ini mengatakan,
�Sebenarnya aku telah merelakan apa yang dilakukan ayahku. Hanya saja, aku ingin agar para wanita mengetahui bahwa ayah sama sekali tidak punya wewenang memaksa putrinya menikah.� (HR. Ibn Majah 1874, dan dishahihkan oleh al-Wadhi�I dalam al-Shahih al-Musnad, hlm. 160).
Dan ketika si wanita tidak bersedia dan tidak rela dengan pernikahannya, dia tidak boleh untuk berduaan dengan suaminya, demikian pula sebaliknya, suami tidak boleh meminta istrinya untuk berduaan bersamanya. Ini berlaku selama dia tidak ridha dengan pernikahannya.
Ketiga, sekalipun dia tidak ridha, tapi tidak otomatis pisah
Dalam arti, perpisahan harus dilakukan melalui ucapan talak yang dilontarkan suami atau istri menggugat ke Pengadilan, untuk dilakukan fasakh. Mengingat ada sebagian ulama yang menilainya sebagai pernikahan yang sah.
Sehingga yang bisa dilakukan wanita ini, meminta suaminya untuk mengucapkan kata cerai. Atau dia mengajukan ke pengadilan agar diceraikan hakim (fasakh).
Ada pertanyaan yang diajukan kepada Lajnah Daimah,
�Bagaimana hukum islam untuk wanita yang dinikahkan paksa orang tuanya.�
Jawaban Lajnah,
�Jika dia tidak rela dengan pernikahannya, dia bisa mengajukan masalahnya ke pengadilan, untuk ditetapkan apakah akadnya dilanjutkan ataukah difasakh.� (Fatwa Lajnah, 18/126)
Allahu a�lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Baca juga:
Advertisement
// kode Iklan yang sudah diparse, letakkan disini
No comments
Note: Only a member of this blog may post a comment.